Oleh Muhammad Rizqon
Allahu Akbar, suara azan berkumandang.
Tanda waktu berbuka tiba, setelah seharian puasa.
Alhamdulillah, hati senang puasaku tunai.
Hilang haus lapar, setelah seharian kurasa.
Ya Allah…. Ya Allah, terima kasih atas rezeki-Mu ini.
Puasaku hanyalah untuk-Mu, sebagai bukti cintaku pada-Mu.
(Vocal Anak-anak Alif)
Kala aku masih kecil itu, bedug dan seruan imsak dari masjid adalah penanda waktu yang menjadi patokan utama warga desa. Jadwal imsakiyah hanya dimiliki oleh masjid, yang berasal dari perhitungan ahli falak di desaku. Siaran Radio, yang menentukan waktu maghrib di pusat kota, memang dijadikan pegangan juga, tetapi yang lebih utama adalah bedug maghrib di masjid kami. Artinya meski radio telah mengumandangkan azan, kami tetap tidak berani membatalkan puasa sehingga kami mendengar bunyi bedug masjid kami.
Karena kami berpedoman kepada bedug masjid, biasanya menjelang buka, kami bergerombol duduk-duduk santai (istilahnya: kongkou) di sebuah alun-alun depan rumahku, menghadapi masjid yang berjarak sekitar 50 m di arah barat. Dari situlah kami memantau bedug yang akan ditabuh oleh sang marbot. Rasanya melihat aksi marbot memukul bedug, menimbulkan kesenangan tersendiri, seperti berharap detik-detik yang luar biasa hendak terjadi.
Yang lucu, kadang jika aku melihat marbot menuju bedug, kuberpikir bedug akan segera akan ditabuh, aku berteriak kegirangan “Hey! Bedug, bedug, bedug!”. Maksudku memberitahu bahwa bedug mau ditabuh. Tidak tahunya marbot hanya mencari pemukul bedug saja dan tidak menabuhnya. Aku kecewa, bahkan ada dari kami yang keburu berlari ke rumah. Tentu yang seperti ini menjadi bahan ejekan dan tertawaan kami pada hari berikutnya.
Saat bedug benar-benar ditabuh, kami berteriak hebat “Hey! Buka, buka, buka!” sambil berhamburan menuju rumah. Teriakan kami seakan menjadi penyambung lidah bagi mereka yang tidak mendengar bedug maghrib. Maklum, biasanya selepas bedug ditabuh, sang bilal tidak langsung berazan, tapi membatalkan puasa terlebih dahulu barang beberapa menit. Aku pun membatalkan puasa dengan meminum teh manis. Alhamdulillah, luar biasa nikmatnya. Penantian panjang pun berakhir dengan kebahagiaan yang tiada terkira.
Namanya anak-anak, ada kalanya aku juga tidak puasa. Anehnya, jika aku tidak puasa, aku tidak berantusias mengikuti teman yang hendak ‘berkongkou’ menanti aksi sang marbot mengeksekusi bedug. Tidak ada nuansa kebahagian pada diriku. Yang ada justru rasa sesal, kenapa aku tidak puasa hari itu. Sungguh, aku betul-betul iri dengan teman-temanku yang bisa tetap berpuasa. Dan rasanya begitu bedug dipukul dan mereka berteriak berhamburan menuju rumah masing-masing sambil melihati diriku, kurasakan mereka seperti mengejek diriku yang tidak puasa. Aku bagai orang yang kalah dalam perlombaan saja. Alangkah menyesalnya diriku!
*** Rasulullah SAW bersabda, “Orang yang berpuasa mendapatkan dua kesenangan, yaitu kesenangan ketika berbuka puasa dan kesenangan ketika berjumpa dengan Rabbnya. ” (HR Bukhari-Muslim)
Itulah keajaiban berbuka yang kurasakan saat aku kecil. Berbuka puasa menimbulkan kebahagiaan yang luar biasa. Laksana musafir dipadang pasir yang menjumpai sumber air (oase). Dan ini tidak dirasakan kecuali oleh orang yang berpuasa. Bagiku hal ini memberi hikmah bahwa ujung dari ketaatan kepada Allah adalah kebahagiaan. Ini menjadi rumus baku yang bisa aku terapkan dalam situasi mana pun. Sebagai contoh, jika aku mendapatkan harta dengan cara batil, meski besar, tentu tidak akan memberikan kebahagiaan apapun bagiku. Sebaliknya rezeki yang diperoleh dari usaha ketaatan, meski kecil, akan sangat berarti dan memberikan kebahagiaan tersendiri.
Kesenangan kedua dari orang berpuasa adalah ketika berjumpa dengan Rabb-nya. Aku baru saja mendapat pencerahan dari seorang seorang ustadz, bahwa kenikmatan tertinggi dari semua kenikmatan yang ada di surga adalah melihat (bertemu) Allah. Sulit dibayangkan bagaimana rasanya bertemu atau melihat langsung Allah itu. Mungkin kita bisa membayangkan kenikmatan bertemu dengan 70 bidadari di surga dengan membandingkan kenikmatan memiliki bidadari di dunia. Atau kenikmatan makanan dan minuman dengan membandingkan makanan dan minuman yang ada di dunia. Demikian halnya dengan taman, istana, dan lain sebagainya. Tetapi semua yang akan kita alami nanti (semoga kita menjadi ahli surga) sama sekali tidak terlintas dalam pikiran kita. Nah, semua itu belum seberapanya dengan kenikmatan melihat (bertemu) Allah. Subhanallah.
Hikmah yang kupetik dari hadits di atas, ternyata puasa begitu istimewanya di mata Allah sehingga Allah akan memberikan balasan kenikmatan yang melebihi kenikmatan surga dan segala isinya kepada orang yang berpuasa. Belum dengan keistimewaan pintu Ar Rayyan dan pembalasan yang langsung dari Allah saja.
Semoga ini menjadi motivasi bagi kita untuk berpuasa dengan penuh keimanan. Jangan sampai tidak berpuasa. Sungguh akan menyesal, seperti menyesalnya diriku di waktu kecil itu.
Waallahu’alam bishshawwab.
Minggu, 06 September 2009
Keajaiban Berbuka Puasa
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar